'Insidious': Rollercoaster yang Bikin Merinding

'Insidious': Rollercoaster yang Bikin Merinding
Jakarta - Sudah lama saya tidak dibuat merinding oleh film horor. Dan 'Insidious' dengan sukses membuat bulu kuduk saya (dan bulu di sekujur tangan dan kaki) berdiri. Sekitar 101 menit penonton diteror oleh ketegangan demi ketegangan tapi, anehnya, membuat kita betah untuk bertahan di dalam gedung bioskop.

Film yang dibesut sutradara asal Malaysia, James Wan yang membidani 'Saw' ini adalah tipe sinema yang semakin kita tidak mengetahui jalan cerita, semakin baik efek kejutannya menerjang kita.

Film bercerita tentang keluarga Lambert yang baru saja pindah rumah. Ada hal menyeramkan di rumah itu yang terus membayang-mbayangi siapa saja yang menempatinya. Dan, harap sabar sekitar 15 menit—adegan-adegan awal tentu saja memperkenalkan para karakternya—untuk kemudian perlahan tapi pasti kita dipaksa untuk melihat betapa seramnya rumah itu.

Dari barang-barang yang bergerak sendiri, hingga penampakan makhluk lain—yang tak hanya mengganggu orang dewasa, tapi juga bayi mereka. Belum lagi score musik yang menyayat-nyayat perasaan, mengiringi adegan-adegan itu. Sang istri, Renai (Rose Byrne) adalah musisi yang bekerja di rumah sambil mengasuh ketiga anaknya, yang pertama kali merasakan hal-hal tak lazim itu.

Sang suami, Josh (Patrick Wilson) adalah seorang guru yang ternyata acap kerja lembur, dan seperti tak peduli dengan berbagai keanehan di rumahnya. Ia juga seorang yang rasional, yang tak percaya begitu saja kata istrinya. Masalahnya, salah satu anak mereka, Dalton (Ty Simpkins) penasaran dengan sesuatu dan naik ke atas loteng, dan terjatuh. Keesokan harinya, ia koma, hingga 3 bulan berikutnya. Dokter sudah menyerah, tak bisa menjelaskan penyebabnya.

Maka keluarga itu pun pindah rumah. Ibu Josh, Lorraine (Barbara Hershey), pun memanggil pengusir setan, Elise Reiner (Lin Shaye), dan dua asistennya: Speck (Leigh Whannell, penulis skenario film ini, dan seri 'Saw') dan Tucker (Angus Sampson). Kedua karakter kocak ini saling mencela dan merendahkan satu sama lain, dan "bertugas" mengatur ritme "rollercoaster" ini.

Apakah Daltond diganggu makhluk halus? Ataukah kesurupan? Apa sebenarnya yang terjadi? Kalau kita dengan jeli memperhatikan detail-detail segala hal audio visual yang tampak di layar ("mise-en-scene"), plus jika kita rajin menonton dan paham pakem film horor, kita tentu bisa menebak mau ke mana film ini.

Kita akan temukan petunjuk-petunjuknya, kalau kita perhatikan, dialog-dialog yang terkesan tidak penting (khususnya di menit-menit awal , atau foto atau poster di dinding, atau suara detak jam, misalnya). Tapi, ternyata tidak semudah dan sesederhana itu dalam 'Insidious'.

Music score yang ciamik, plus sinematografi yang mengarahkan ke rasa takut, plus cerita yang memang menyeramkan (bukan lagi mengagetkan, seperti kebanyakan film horor kita) membuat film ini tidak hanya dikategorikan dalam visual-horror, tapi narrative-horror (ceritanya memang sudah menyeramkan, tidak hanya bentuk fisik setannya). Dan, sekali lagi, ini tipe film horor yang sudah lama tak saya tonton: membuat merinding sekujur tubuh. Sebuah rollercoaster

GOSCEB

Saya adalah seorang blogger yang senang akan gosip yang sedang populer baik dalam negeri atau pun diluar negeri

Post a Comment